Catatanku...

Friday, January 27, 2006

Ting...tong....

Ting....tong...

Wah, siapa yang nge-bel saat seperti ini sih? Aku tetap duduk dan berkonsentrasi pada pekerjaanku

Ting....tong.....ting....tong.....

Aduuhh...kok tetangga yang lain tidak mau membukakan pintu untuk tukang post sih? rutukku, jengkel. Dan aku tetap tak beranjak

Ting...tong...ting...tong.....

Kukuatkan hati karena aku tak punya janji dengan siapapun hari ini. Salah sendiri datang tanpa janji, padahal banyak yang harus kuselesaikan hari ini. Begitu pembenaranku sambil mengetatkan diri di tempat duduk.

Ting...tong...ting...tong....

Ampun, buyar semua konsentrasiku dan habis sudah kesabaranku. Sambil merengut dan menggerutu panjang pendek aku bergegas ke arah pintu. Dengan tak sabar kuputar kunci dan kutarik daun pintu.

Ternyata, di depanku berdiri laki-laki dewasa berwajah kekanakan yang menatapku dengan pancaran mata polos dibalik kaca mata tebal dan senyum yang ramah. Tubuh besar berbalut mantel tebal, topi penahan dingin dengan wajah kemerahan masih menyisakan ekspresi keterbatasan kemampuan otaknya. Dengan heran aku bertanya-tanya, mau apa mahluk tak dikenal ini datang padaku?

Setelah beberapa detik berlalu dalam hening, suara lambat dan sengaunya membuyarkan pertanyaan-pertanyaan tak terucapku. Guten tag, maaf mengganggu waktu anda yang berharga. Saya dari perkumpulan orang cacat hendak menjual koleksi kartu-kartu ucapan yang kami buat untuk mendukung acara natal buat orang-orang tak mampu.
Kalimat sepanjang itu diucapkan dengan setarikan napas diiringi senyum yang tak pernah lepas. kaget, aku hanya mampu mengatakan Ohh....

Belum sempat aku menjawab perkataannya, dia sudah menyambung. Kalau anda keberatan, saya tak memaksa, Herr. Meggers pimpinan kami mengingatkan kami untuk tidak memaksa dan mengganggu kenyamanan anda. Sambil mendengarkan, aku melirik ke arah tumpukan kartu di tangan kanannya yang berbungkus sarung tangan tebal dan menyambut secarik surat pengantar dari lembaga keagamaan lengkap dengan kop surat, cap dan tanda tangan.

Secara tak sadar aku langsung mengiyakan dan tanpa menyilakan dia masuk, aku mengambil uang dari kamar kerjaku. Sekembalinya, di depan pintu, tetap dengan wajah tersenyum, dia sudah siap dengan sehelai kertas kuitansi. Setelah transaksi terjadi, dia menyodorkan kuitansi itu untuk kutanda tangani, dan dengan telaten dia menghitung uang dan berusaha keras menghitung jumlah kembaliannya. Aku sempat mengatakan untuk menyimpan kembaliannya, tetapi dia menggeleng. Dengan suara kekanakannya dia berkata bahwa dia tetap harus mengembalikan sisa uang. Waktu kupaksa dengan mengatakan bahwa itu untuk membantu kegiatan pelayanannya, dia tersenyum dan kembali mengeluarkan buku kumal dan memintaku mencatat nama, alamat dan jumlah sumbangan. Dan dengan gembira dia mengucapkan terimakasih dan berjanji akan mengundangku untuk datang ke acara perayaan natal itu.

Ketika transaksi usai, kupandangi punggung besar yang melangkah riang dengan gumaman senandung lagu. Tak terasa ada air dingin mengalir di pipiku diiringi sejuta sesal. Sesal karena aku tak mengundangnya masuk dan menawarkan secangkir coklat panas. Sesal karena awalnya aku berprasangka. Sesal karena aku mengasihani orang yang tak patut kukasihani. Dan sesal-sesal yang lain. Terselip juga rasa kagum pada kebersahajaan, kerendahan hati dan kejujurannya.

Ketika aku kembali duduk di tempat kerjaku, hilang sudah semua keinginan mengejar deadline. Aku lebih ingin mengirimkan kartu-kartu ini dengan cerita tentang penjualnya pada teman-temanku, dengan harapan tak ada lagi kebodohan seperti yang pernah kubuat pagi ini terjadi lagi.

Tuesday, January 24, 2006

Paket berkat

Beberapa bulan yang lalu, setelah sekian lama, aku ketemu teman berbagi bangku saat SMA. Dia tak berubah, tetap kecil, cerewet dan ceria. Yang berubah hanya ada pendamping disampingnya. Setelah pertemuan itu, berkat kecanggihan internet, kita bisa terus berkomunikasi sampai sekarang.

Ada satu pernyataan yang menggelitik yang pernah dia ungkapkan. Saat itu kita sedang berbagi cerita tentang rentang kehidupan sejak kita pisah sampai saat kita bertemu lagi. Dia bilang begini, "Mir, ternyata berkat Tuhan itu satu paket ya". Waktu aku tanya apa maksudnya, dia menjelaskan bahwa yang namanya berkat atau anugrah itu bukan hanya melulu berisi hal-hal yang menyenangkan di mata manusia. Tetapi juga berisi kesulitan dan kesusahan yang dipake untuk menegur, mengingatkan dan menuntun kita supaya kita lebih kuat, sabar dan bijak dalam menyikapi hidup.

Aku sempat terhenyak membaca penuturan bijak temanku ini. Seperti diingatkan, karena sering sekali saat aku menghadapi kesulitan aku mulai bersungut-sungut dan protes. Sama sekali tidak menyadari bahwa hal itu justru perlu disyukuri, karena saat itu aku bisa belajar tentang sesuatu.

Saat aku mencoba melihat perjalanan hidupku setahun ke belakang. aku di ingat akan masa-masa menyenangkan dan saat-saat sulit yang pernah aku lalui. Kuakui, benar pendapat teman baikku itu, bahwa kasih Tuhan itu selalu dalam paket berkat, lengkap dengan kesukacitaan dan saat sulit.

Secara khusus, aku ingat saat-saat aku harus menyelesaikan studiku. Ada saat gak bisa mikir, saat penuh, saat blank, saat ditegur pembimbing, saat pekerjaan dianggap tidak memadai. Seiring dengan itu, ada saat lancar membuat tulisan, saat isi kepala terang dengan sejuta ide dan lainnya. Semuanya satu paket, semuanya lengkap. Dan ujung semuanya itu hanya mengantarkan aku pada ungkapan syukur.

Syukur karena aku berkesempatan belajar untuk jadi aku yang sekarang. Syukur karena paket itu menambahkan paket yang lebih besar. Paket persahabatan dan persaudaraan. Terimakasih untuk sahabat-sahabat Mbak Ria, neng Marpu, neng Kinoy. Terimakasih untuk teman-teman baik Ni Londo, Maria, Fanny, Pipin dan yang lainnya. Terimakasih untuk teman-teman baru. Terimakasih untuk saudara kekasih Hesti dan Felix. Terimakasih untuk suami tercinta. Terimakasih untuk orang tua dan saudara di Bandung. Dan juga, sejuta terimakasih untuk orang-orang yang melengkapi dan mengantarkan aku sampai hari ini. Tuhan memberkati kalian semua.

Saat penuh syukur selepas ujian akhir.

Monday, January 16, 2006

Sebelum ujian

Selalu seperti ini bila menghadapi ujian. Ketegangan dan kegelisahan yang sering merembet menjadi sakit perut, kepala pusing dan tak bisa tidur. Beberapa hari lagi memang aku harus menghadapi ujianku. Siap tak siap, waktunya akan datang.

Ada yang terpikir disaat gelisah seperti sekarang ini. Semakin mendekati harinya, semakin aku merasakan kebaikan Sang Pengasih melalui apa yang kulewati waktu demi waktu. Sepertinya Dia ingin menunjukkan bahwa tak pernah Dia biarkan aku melewati kegelisahan ini sendiri. Dia kirim malaikat-malaikat baik hati di tatapan mata kekasihku, di wajah ramah sahabat-sahabatku, di senyum teman-temanku, dan di doa orang yang mengasihiku. Semua ini membuatku tak sempat untuk lebih tegang lagi, karena aku begitu terkesima dengan mujizat kebaikan ini. Memang, Engkau sungguh layak disebut Sang Maha, karena dengan ke-Maha-anMu, engkau sanggup bungkam ketidakpercayaan dan ketakutanku. Bahkan, Engkau sumpal sisi-sisi bolong dari harapan yang menciut, dari ketakutan yang tak beralasan. Apa lagi yang bisa kukatakan, selain terimakasih. Segala pujian, hormat dan kemuliaan, hanya layak bagiMu saja.

Tuesday, January 03, 2006

Penunggu jembatan

Di pusat kota, dekat kincir angin tua yang cantik lengkap dengan hamparan rumput hijau tertata rapi, pohon yang rindang dengan jalan setapak berkelok dan riak air kanal yang jernih, ada sebuah jembatan. Bukan jembatan kecil, karena diatasnya dilewati kendaraan bermotor sampai trem. Jembatan sederhana ini sering dijadikan tempat strategis ketika turis hendak mengambil gambar kincir angin, terutama saat musim semi. Khas Eropa. Entah sudah berapa kali kulewati jembatan ini dan entah sudah berapa banyak gambar kubuat baik dengan diriku sebagai objek utama maupun teman-teman yang sekedar berkunjung ke tempat ini.

Jembatan ini tak pernah sepi, dan ada penunggunya. Sang penunggu adalah seorang lelaki setengah baya, kumal yang hanya berbekal kantong tidur dan seonggok buntalan kumal. Siang hari, dia hanya duduk dan menadahkan tangan, mengucapkan salam pada setiap yang lewat dan memohon belas kasihan. Lebih banyak yang tak peduli dengan kehadirannya dibanding mereka yang sekedar menengokkan kepalanya. Tetapi dia tetap disitu, menadahkan tangan, memberi salam dan memohon belas kasihan. Di malam hari, tubuhnya tergolek berselimutkan kantong tidur dan bertelekan buntalan kumal, baik di musim panas ataupun di musim dingin. Entah sudah berapa banyak daun kering dan serpihan salju menyentuh sarung tidur dan topi kumalnya, dia tetap disitu.


Banyak orang tak senang melihat kehadirannya, karena menganggu keindahan pemandangan. Saat hendak mengabadikan momen cantik berlatar belakang kincir angin tua sering terganggu oleh tubuhnya yang bau dan kumal. Entah berapa banyak cibiran bibir dan dengus kesal terlontar saat ia mulai beraksi. Tak sedikit tatapan mata iba terarah kepadanya, tetapi dia tak bergeming. Sepertinya teguran polisi yang menggusahnya atau membawanya ke rumah penampungan atau kunjungan badan-badan amal tak mampu lagi mengubah niatnya untuk menjadikan jembatan itu sebagai rumahnya.

Ketika aku duduk diseberang jalan, menikmati pemandangan cantik kincir angin tua dengan hamparan rumput hijau, mau tak mau mataku tertuju padanya. Dalam kesendiriannya, tangan kanannya memegang roti terbungkus kertas tua dan tanggan kirinya menggemgam secangkir plastik kopi panas. Lalu ia mulai menluruskankan kakinya dan bersandar di jembatan. Pelahan ia mengunyah rotinya, sambil sesekali menghirup kopi dengan mata terpejam. Nikmat.

Aku tak pernah suka dengannya, seperti juga kebanyakan orang lain. Aku tak pernah ingin berada menggantikan tempatnya, hidup tanpa atap, tanpa teman. Tetapi ia tak peduli. Sepertinya ia tak menginginkan hal lain selain tetap dekat dengan jembatan tuanya. Disana ia tak pernah merasa terusik, bahkan cibiran dan cemoohan itu tak mampu mengganggu ketenangan, keasyikan dan kenikmatannya berada di tepi jembatan. Sepertinya dia tak perlu kursi empuk, rumah besar, baju mentereng, musik lembut dan atribut kenyamanan standard lainnya. Baginya, duduk di pinggir jembatan, mengunyah roti berbungkus kumal, menghirup secangkir kopi sudah membuatnya puas untuk dapat menikmati hembusan angin, pancaran mentari dan riak air kanal dibawahnya.

Banyak yang tak kusuka dari keberadaannya, tetapi kenyamanannya membuatku iri.

Sunday, January 01, 2006

Biasa dan tak biasa

Biasanya....
menjelang tutup tahun aku habiskan bersama keluargaku. Beruntung aku terlahir dari keluarga besar, sehingga malam menjelang tutup tahun tak pernah kuhabiskan sendiri. Ada ibu, ada bapak, ada kakak, ada adik, ada kakek, nenek dan saudara-saudara.

Biasanya....
menjelang tutup tahun ada hidangan sup kacang merah dan kue gula merah serta pisang goreng untuk disantap bersama seluruh keluarga.

Biasanya....
menjelang tutup tahun tak pernah ada kesunyian. Suara kegembiraan ditingkahi tawa ceria membahana menyemarakkan malam pergantian tahun. Wajah-wajah penuh senyum berbaur dengan nyanyian sukacita, membuat hati tak pernah merasa sendiri.

Biasanya....
menjelang tutup tahun ada doa bersama dan wejangan pengantar langkah menuju tahun baru yang penuh tantangan sekaligus penuh harapan.

Biasanya....
menjelang tutup tahun ada harapan yang dinaikkan diam-diam untuk kebahagiaan dan kesehatan di tahun yang baru.


Tak biasa....
menjelang tutup tahun ini aku lewatkan tanpa senyum dan kehadiran keluargaku. Ibuku tersenyum penuh kegembiraan dari sorga, bapak, adik dan kakakku tertawa bersama di belahan bumi yang lain.

Tak biasa....
menjelang tutup tahun ini aku ditemani teman terbaik, belahan jiwa sekaligus suami tercinta. Ditambah kehangatan bersama sahabat di negri asing ini membuat aku tak bisa tak menebar senyum.


Yang tetap ada dan sama....
doa dan harapan agar tetap ada senyum dan kaki yang kuat dan kepala yang tegak untuk menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan

Yang tetap ada dan sama....
keyakinan dan ungkapan syukur, bahwa Tuhan Maha Kasih tak pernah berubah, dulu, sekarang dan selamanya.