Tuesday, January 03, 2006

Penunggu jembatan

Di pusat kota, dekat kincir angin tua yang cantik lengkap dengan hamparan rumput hijau tertata rapi, pohon yang rindang dengan jalan setapak berkelok dan riak air kanal yang jernih, ada sebuah jembatan. Bukan jembatan kecil, karena diatasnya dilewati kendaraan bermotor sampai trem. Jembatan sederhana ini sering dijadikan tempat strategis ketika turis hendak mengambil gambar kincir angin, terutama saat musim semi. Khas Eropa. Entah sudah berapa kali kulewati jembatan ini dan entah sudah berapa banyak gambar kubuat baik dengan diriku sebagai objek utama maupun teman-teman yang sekedar berkunjung ke tempat ini.

Jembatan ini tak pernah sepi, dan ada penunggunya. Sang penunggu adalah seorang lelaki setengah baya, kumal yang hanya berbekal kantong tidur dan seonggok buntalan kumal. Siang hari, dia hanya duduk dan menadahkan tangan, mengucapkan salam pada setiap yang lewat dan memohon belas kasihan. Lebih banyak yang tak peduli dengan kehadirannya dibanding mereka yang sekedar menengokkan kepalanya. Tetapi dia tetap disitu, menadahkan tangan, memberi salam dan memohon belas kasihan. Di malam hari, tubuhnya tergolek berselimutkan kantong tidur dan bertelekan buntalan kumal, baik di musim panas ataupun di musim dingin. Entah sudah berapa banyak daun kering dan serpihan salju menyentuh sarung tidur dan topi kumalnya, dia tetap disitu.


Banyak orang tak senang melihat kehadirannya, karena menganggu keindahan pemandangan. Saat hendak mengabadikan momen cantik berlatar belakang kincir angin tua sering terganggu oleh tubuhnya yang bau dan kumal. Entah berapa banyak cibiran bibir dan dengus kesal terlontar saat ia mulai beraksi. Tak sedikit tatapan mata iba terarah kepadanya, tetapi dia tak bergeming. Sepertinya teguran polisi yang menggusahnya atau membawanya ke rumah penampungan atau kunjungan badan-badan amal tak mampu lagi mengubah niatnya untuk menjadikan jembatan itu sebagai rumahnya.

Ketika aku duduk diseberang jalan, menikmati pemandangan cantik kincir angin tua dengan hamparan rumput hijau, mau tak mau mataku tertuju padanya. Dalam kesendiriannya, tangan kanannya memegang roti terbungkus kertas tua dan tanggan kirinya menggemgam secangkir plastik kopi panas. Lalu ia mulai menluruskankan kakinya dan bersandar di jembatan. Pelahan ia mengunyah rotinya, sambil sesekali menghirup kopi dengan mata terpejam. Nikmat.

Aku tak pernah suka dengannya, seperti juga kebanyakan orang lain. Aku tak pernah ingin berada menggantikan tempatnya, hidup tanpa atap, tanpa teman. Tetapi ia tak peduli. Sepertinya ia tak menginginkan hal lain selain tetap dekat dengan jembatan tuanya. Disana ia tak pernah merasa terusik, bahkan cibiran dan cemoohan itu tak mampu mengganggu ketenangan, keasyikan dan kenikmatannya berada di tepi jembatan. Sepertinya dia tak perlu kursi empuk, rumah besar, baju mentereng, musik lembut dan atribut kenyamanan standard lainnya. Baginya, duduk di pinggir jembatan, mengunyah roti berbungkus kumal, menghirup secangkir kopi sudah membuatnya puas untuk dapat menikmati hembusan angin, pancaran mentari dan riak air kanal dibawahnya.

Banyak yang tak kusuka dari keberadaannya, tetapi kenyamanannya membuatku iri.

4 Comments:

Blogger Unknown said...

seneng ama tulisan ini.

kenyamanan itu ada di hati dan pikiran, katanya sih..:)

10:53 AM  
Blogger miraykemuning said...

Kayaknya gitu mbak. Sering kita sibuk sama hal2 yang kita pikir akan membuat kita lebih nyaman, yang ujungnya belum tentu gitu.

12:44 PM  
Blogger Sisca said...

Sama dengan Jeng Ria, saya suka postingannya Mbak, salam kenal :)

Mungkin di jembatan itulah dia temukan satu kedamaian, seperti semua orang berlomba mengabadikan tempat tersebut,dan menjadikannya satu kenangan.

4:26 PM  
Blogger miraykemuning said...

Hai Sisca, alam kenal. Terimakasih udah mampir.

Sepertinya dia memang sudah bersahabat dengan jembatan dan pemandangan cantik disana.

8:37 AM  

Post a Comment

<< Home