Monday, June 06, 2005

Menghitung Berkat

"Hitunglah berkatmu hari ini, dan kau akan tercengang melihat jumlahnya"

Sebaris kalimat bijak di atas memang sudah menjadi teman penolongku sejak lama. Aku ingat saat aku merasa marah dan kecewa berpuluh tahun yang lalu. Ketika itu aku masih seorang gadis kecil, yang mengalami hari yang buruk. Hasil ujian yang buruk, bermusuhan dengan teman, kehilangan jepit rambut, dan rusaknya boneka kesayangan karena gigitan anjing. Hari itu aku merasa begitu marah, tak berdaya dan sedih. Seperti biasa, ibuku datang dan menghibur, lalu dia menuliskan sebaris kalimat diatas dalam catatan harian kecilku. Intinya, ibuku ingin mengingatkanku kalau tak pernah ada satu hari buruk tanpa satu sukacita yang kualami. Pasti ada yang baik yang Dia berikan saat aku merasa semua berjalan tak seperti yang kumau. Bahkan hal yang kuanggap kekecewaanpun, adalah berkat yang patut kuhitung. Karena kekecewaan itu bisa menjadi bahan pemacu, bahan evaluasi dan bahan penguat untuk aku kembali bersemangat memasuki hari yang lain.

Aku ingat, saat ibuku mengajakku duduk bersama dan menghitung berkat disaat aku justru merasa tak mampu menghitungnya. Sering di atas secarik kertas putih, kami menuliskan deretan berkat yang kami terima hari itu. Setelah beberapa saat kertas putih itu akan penuh dengan tulisan bertinta yang juga sering kabur karena tetesan air mata. Dan tak jarang kami memerlukan kertas lain lagi untuk menuliskan setiap berkat yang kami terima hari itu. Sambil menulis, ibuku tak jarang menyelipkan kata-kata penghiburan yang mendorongku untuk tetap kuat, tabah dan sabar dalam menghadapi saat yang menyesakkan. Dan setelah kami merasa lelah dengan kegiatan hitung menghitung yang selalu membuatku tercengang akan begitu banyaknya jumlah berkat yang mampu kuhitung, ibuku juga mengingatkan bahwa masih banyak jumlah berkat yang belum sempat tertulis padahal lenganku sudah lelah. Dari hal itu aku boleh belajar, bahwa suatu hal akan membawa kesedihan atau kesukaan tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya. Ujungnya, beliau akan mengajakku melihat kenyataan bahwa ada dua pilihan untukku. Pilihan pertama aku boleh terus duduk diam dan menyesali serta memikirkan semua kesedihanku, atau aku mau bangkit dan bersyukur serta memulai lagi.

Saat ini, setelah puluhan tahun berlalu, ibuku tak ada disampingku ketika aku ada dipersimpangan jalan lagi. Tak ada suara lembut dan tatapan hangat ketika airmata mulai membuat pandangan mataku menjadi kabur. Tapi, kuraih juga selembar kertas putih. Kali ini kumulai dengan menuliskan perasaan negatifku. Aku merasa diperlakukan tidak adil oleh alam ini. Tahun lalu aku menderita sakit hebat yang membuatku harus menjalani pengobatan panjang selama setahun. Hal ini membuatku tak mampu menyelesaikan tugas-tugasku tepat pada waktunya. Setelah deadline terlewati tanpa aku sanggup memenuhinya membuatku kehilangan sumber penghasilanku dan membuatku sedikit panik akan kehidupanku di negri asing ini. Kutambahkan lagi pukulan terakhir dalam hidupku dengan gagalnya proposalku. Tanganku bergetar ketika kutuliskan hal ini. Selama ini aku sering berpikir, aku sudah menghadapi begitu banyak kesusahan setahun terakhir, karenanya aku layak untuk mendapatkan sedikit kegembiraan dengan keberhasilan proposalku. Ternyata tidak seperti itu. Aku tetap tidak berhasil dengan proposal penelitianku. Dan aku sedih. Aku merasa tak sanggup mengitung berkatku hari itu.

Kutinggalkan kertas berisi daftar kesedihan dan kekecewaanku, dan aku mulai menghubungi sahabat-sahabat baikku dan membagikan apa yang kurasakan. Kukatakan aku merasa sedih, malu, kecewa dan marah. Sahabat-sahabatku dengan serta merta memberikan dorongan semangat dan penghiburan. Melalui candaan, melalui teguran, melalui dorongan, mereka sedikit banyak telah menghangatkan hatiku. Aku tak merasa sendiri lagi.

Kuangkat juga gagang telepon dan ketika kudengar suara lembut yang begitu kurindukan, tumpahlah kembali semua cerita kesedihan itu. Dan di ujung sana, suara yang sama mengajakku untuk kembali memilih. Memilih untuk berlama-lama dengan semua pikiran negatif, atau memilih untuk menghitung berkat dan bangkit kembali.

Aku duduk sendiri saat ini. Hatiku masih sedih dan mataku masih sedikit bengkak. Tetapi rasanya tak apa menjadi sedih sesekali. Disisi lain aku tahu bahwa aku diperhadapkan pada pilihan lagi. Aku harus membuat deadline terhadap cara pandang dan posisiku dalam menyikapi kegagalan ini. Di depanku ada secarik kertas putih dan aku aku teringat akan keberadaan orang tua, saudara, sahabat, teman dan mereka yang dekat sudah menolongku untuk memilih. Kali ini aku memilih untuk tak mau tenggelam dalam perasaan yang tak menentu. Aku memilih untuk memandang kedepan dan menghitung berkat yang kuterima. Aku memilih untuk menerima kesakitan ini sebagai bagian dari proses perjalanan hidup yang akan semakin membuatku kuat. Memang aku tak tahu apa yang ada di depan, dan aku tak perlu tahu. Ketidaktahuan akan membuatku terus bergerak, berusaha dan berharap. Terimakasih Sang Maha, karena Kau lengkapi hidupku dengan berkat yang tak ternilai. Rasanya aku perlu bertumpuk lembaran kertas putih untuk menghitung berkatku hari ini.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

neng,
kalau kita nengok ke belakang, ke jalan yg kita udah lewati...kita kadang merasa takjub. kok bisa ya kita lewati semua rintangn, semua kendala sehingga kita sampai disini.

dan ini biasanya aku jadikan semacam acuan, buat melangkah lagi.

btw, posting kita kok mirip ya..;) lagi mengucap syukur sama yang Pemberi Nikmat.

siberia

3:33 PM  
Blogger miraykemuning said...

bener mbak, saya sendiri sering heran kalau mengingat gimana saya masih bisa ada sampai hari ini.

Memang kita gak pernah punya alasan untuk tidak mengucap syukur.

1:21 PM  
Anonymous Anonymous said...

aku ingat kalimat yang selalu aku ulang-ulang dalam hati kalo aku sedang dalam kesusahan: "di balik kesulitan dan kemudahan. sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan."

so, sing tabah neng untuk menghadapi cobaan ini. begitu juga kamu, mbak.

"mari" marpuah yang manis :)

12:56 PM  

Post a Comment

<< Home