Catatanku...

Wednesday, May 25, 2005

Pesawat

Beberapa minggu yang lalu, aku dan kawan baikku yang tinggal di kota lain membuat janji untuk bertemu. Karena jarak yang jauh, kami sepakat untuk menjadikan Hamburg tempat pertemuan kami. Selain kotanya indah, jaraknya juga dekat dari kota kami sehingga kami tak akan banyak kehilangan waktu. Semenjak kami menjejakkan kaki di stasiun, langsung saja pembicaraan mengalir tak henti. Memang selalu seperti itu, bila bertemu, inti pertemuan hanya dipenuhi oleh cerita, keluhan dan tawa. Sering kami tak sadar kemana kaki membawa kami melangkah. Kadang kami menyusuri deretan pertokoan, kadang kami menumpang bus atau kereta bawah tanah, atau kadang kami duduk begitu saja di taman kota. Rasanya keindahan kota Hamburg menjadi tak begitu menarik dibandingkan dengan sejuta cerita yang ingin kami bagi.

Akhirnya langkah membawa kami ke tepi Sungai Elbe, sungai terbesar yang membelah kota Hamburg. Kami sepakat untuk menyusuri sungai itu dengan menggunakan kapal. Kami memilih duduk di dek atas yang terbuka. Cukup berani memang, mengingat saat itu masih awal musim semi, dimana anginnya masih bertiup kencang dan udara masih dingin menggigit. Ada alasan khusus mengapa kami nekat memilih terterpa angin kencang, karena kami tak mau gerakan kapal di ruangan tertutup mengaduk isi perut kami sehingga kami tak bisa menikmati perjalanan.

Setelah kapal berjalan, barulah kami sempat terdiam. Bukan hanya karena udara yang dingin dan rasa lelah, tetapi juga karena suguhan pemandangan yang indah di sepanjang sungai. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara kapal yang terasa begitu dekat. Ternyata kami sudah mendekati pabrik kapal airbus di Finkenwerde. Dengan takjub kami melihat kapal yang terbang begitu rendah. Langsung kusenggol lengan temanku untuk segera mengabadikan pesawat itu. Tetapi entah karena udara terlalu dingin atau perut yang teraduk, foto yang dihasilkan hanya mampu mengabadikan kapal dengan ukuran yang sangat kecil. Tapi tak apa, karena foto itu malah menjadi foto pertama yang tampil di blogku ini.

Terimakasih Kinoy untuk perjalanan yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Terimakasih mbak Ria yang sudah dengan tabah mengajari orang gaptek macam aku untuk meng-up load foto ini.

Thursday, May 19, 2005

Kemeja Putih

Kemeja putih ini masih baru. Tapi aku belum pernah memakainya. Aku ingat saat membeli kemeja ini dua tahun yang lalu bersama adikku, saat aku berkesempatan pulang setelah lama meninggalkan rumah. Kemeja putih ini begitu cantik, tidak hanya putih polos, tetapi mempunyai pola bunga dan lingkaran yang berulang. Cantik. Semuanya putih. Bila tak menyimak, sepertinya hanya menampakkan kepolosan tanpa motif. Tetapi sesungguhnya tidak seperti itu. Bahan kain kemeja itupun begitu halus, sangat nyaman dipakai. Ketika pertama melihat kemeja itu, aku dan adikku sepakat untuk masing-masing dari kami memilikinya. Sambil tertawa geli, kami membayangkan lucunya bila kami berpakaian kembar seperti ini. Seperti mengenang kenangan manis masa kecil, dimana kami selalu diberi pakaian yang sama, hanya karena kami bersaudara.

Tetapi, melihat kemeja itu hari ini menimbulkan kegemasan dihatiku. Betapa tidak, saat mencobanya dua tahun yang lalu, semuanya begitu sempurna. Jahitannya bagus, pas mengikuti bentuk tubuhku, tetapi tidak melekat ketat, sehingga aku masih bisa bergerak dengan leluasa. Aku ingat, saat bayangan diriku terpantul di cermin, aku terlihat lebih manis dengan kemeja putih itu. Kuakui selama ini aku tidak begitu peduli dengan penampilanku, meskipun aku seorang wanita. Cukup tambil segar, bersih dan tak berbau sudah cukup buatku. Jarang aku ambil pusing dengan penampilanku. Tetapi...tidak. Tentu aku peduli. Aku tak suka pakaian yang mencetak bentuk tubuhku terlalu erat. Aku tak suka kakiku dan pahaku terpampang nyata, bukan karena tak ingin, tetapi aku tak cukup beruntung memiliki bentuk kaki dan kulit yang indah. Karenanya aku lebih suka menutupnya, agar hatiku tak terganggu baik oleh komentar atau sekedar pandangan penuh rasa iba. Disamping itu, aku tak suka berdandan. Buatku itu terlalu menyita waktu dan melelahkan, selain aku tak pandai memadupadankan warna-warna di kulit wajahku.

Menurut ibuku aku cantik walaupun kulitku terkena alergi yang sering meninggalkan bekas buruk di kulitku. Dan aku tak keberatan dengan pendapatnya meskipun banyak tatapan mata iba bila mereka memandang kulit burikku. Setiap berkaca, yang terpantul hanyalan kesempurnaan wajah seorang manusia. Rambut, dahi yang ditumbuhi anak rambut, dua mata yang dilengkapi sepasang alis, hidung, bibir, dagu dan dua telinga. Aku bersyukur dengan kelengkapan itu, dan karenanya aku menganggap diriku cantik walaupun tak semua setuju dengan pendapatku. Kuanggap itu sah-sah saja, toh setiap orang mempunya pemikiran dan pendapatnya sendiri-sendiri. Praktis saja.

Kepraktisan memang bagian hidupku. Aku tak begitu suka dengan hal-hal yang serba rumit yang sebenarnya bisa disederhanakan. Ketika ibuku menaruh rasa iba dengan keberadaan alergiku, kukatakan, tak apa ibu, itu bukan hal yang mengganggu hidupku. Alergi tak akan membuatku berhenti merasa bahagia. Aku terlalu percaya bahwa hidupku tidak hanya melulu rentetan kepiluan, tetapi juga terangkai dengan senyum dan tawa. Karenanya, sering kukatakan pada ibuku, biarlah ini menjadi penanda keseimbangan dalam hidupku. Bila aku bisa melakukan hal lain dengan baik, dan pada saat yang sama tidak bisa terlepas dari alergi yang menurut kebanyakan orang menjijikkan, itu sudah seimbang. Seimbang dalam artian aku tak bisa sempurna disemua hal. Kesempurnaan hanya milikNya dan aku cukup beruntung untuk bisa memiliki ketidaksempurnaan yang akhirnya membawaku untuk tak bisa bermegah diri.

Tetapi tidak kali ini. Kemeja putih yang kubeli dua tahun yang lalu menjadi tidak bersahabat. Tidak ada yang salah pada kemeja itu. Jahitannya tetap sempurna dan bahannya tetap halus. Tetapi kemeja itu sekarang begitu menggigit kuat pinggangku yang baru kusadari melebar dengan bertambahnya waktu. Aku begitu marah pada diriku sendiri. Bagaimana bisa ini terjadi? dengan kesal kutatap gelambir-gelambir lemak yang bertonjolan di pinggang dan perutku.

Kutatap pantulan tubuhku dalam cermin dengan sedih. Memang masih kudapati pantulan wajah cantik, tetapi tersangga oleh tubuh yang membengkak. Kulepas kemeja cantik itu sambil mengingat-ingat apa saja yang telah kulakukan dua tahun terakhir ini. Berolah raga?? Olala, kuakui aku tak pernah melakukannya. Dan ooh...baru teringat, setahun terakhir ini aku menghabiskan waktuku dengan duduk di depan komputer dan menanggungkan semua kegiatan pada jemariku. Hhhh.....baik, sekarang bagaimana dengan pola makan? Oh, langsung saja wajahku memanas mengingat bagaimana aku mengkonsumsi makanan selama ini. Kujejali tubuhku dengan sampah-sampah tak berguna. Tak kudasadari selama ini aku jarang membiarkan mutlutku berhenti memamah biak.

Tak heran bila kini aku bermetamorfosa menjadi monster bulat. Betapa selama ini kuabaikan tubuhku hanya karena alasan kesibukan yang sebenarnya hanya pembenaran dari kemalasan dan lemahnya rasa tanggung jawabku untuk menjaga kesehatanku.
Selama ini, aku selalu berharap dan belajar untuk menjadi seorang yang dapat diandalkan. Tetapi bila melihat keadaanku saat ini aku menjadi malu. Menjaga diriku sendiripun aku tak mampu. Bahkan dengan dalih kesibukan kubiarkan tubuhku digerogoti lemak-lemak yang pelahan akan memakan ketahanan dan kesehatan tubuhku sendiri. Lalu, bagaimana aku mengatakan aku mengasihi sesama, bila tubuh yang merupakan milik diriku ini tak mampu kukasihi dengan benar.

Kemeja putih yang sempat kulemparkan kembali kuraih. Benda polos nan nyaman ini mengingatkanku untuk mewujudkan kasih pada diri sendiri dengan tindakan nyata, dengan merawatnya. Kemeja putih nan cantik sudah menegurku bahwa mengasihi dan peduli bukan hanya janji dan omong kosong, tetapi lebih merupakan tindakan nyata yang didasari kemauan, kedisiplinan, kesungguhan dan ketulusan. Dan rentetan tindakan nyata ini akan mengambil waktu yang tidak pendek, karena sering kita menjadi lemah atau lelah saat menjalankannya. Tapi tak apa, toh hidup ini merupakan ajang latihan dan prose belajar untuk menuju keseimbangan.

Sebelum aku melangkah lebih jauh dengan mengucapkan dan melakukan tindakan kasih dan kepedulian pada sekelilingku, ada baiknya aku memulainya dengan diriku sendiri agar saat aku membaginya aku sudah terlatih dalam kesungguhan dan ketulusan.