Catatanku...

Monday, March 20, 2006

Cita-cita

Sempat ada yang bertanya, apakah pencapaianku sampai hari ini adalah sesuatu yang aku cita-citakan sejak dulu. Pernyataan yang tak lekas bisa terjawab, karena setelah kuingat betapa cita-citaku selalu berubah seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan diriku. Aku ingat, sewaktu kecil, aku pernah begitu kagum pada foto-foto peragawati yang cantik dan aku ingin jadi peragawati. Atau kali lain, ketika aku melihat Dra. Karlina Leksono atau Ibu pratiwi , aku langsung bercita-cita menjadi ahli perbintangan atau jadi astronot. Pernah juga, ketika ibu mengajakku mengambil baju di tukang jahit langganan kami di pasar, aku begitu kagum pada ibu tua penjahit yang begitu terampil menempelkan renda di gaun natalku, dan itu mendorongku untuk menjadi tukang jahit kelak. Yang begitu membekas di ingatanku adalah ketika aku berkeinginan untuk menjadi supir bus atau supir truk. Ini terilhami oleh perjalanan yang cukup sering kami lakukan dari Bandung ke Jakarta bersama nenek atau kerabatku. Setiap kami bepergian dengan menggunakan bus, kami selalu berusaha mendapatkan tempat duduk paling depan, untuk menghindari mabuk begitu dalih nenekku setiap kali. Dan memang, untuk anak kecil seperti aku, perjalanan jauh Bandung-Jakarta yang melewati jalanan penuh kelok di Padalarang atau di Puncak, selalu membuat isi perut terkocok. Tetapi setiap kali kami duduk di depan, aku hampir bisa menahan rasa pusing dan mual tersebut, dan berganti dengan rasa kagum pada bagaimana supir bus mengendalikan kendaraan besar seperti bus. Jaman dulu fasilitas bus tak seperti sekarang, tak ada power steering yang membantu para supir untuk mengendalikan roda-rodanya dengan mudah. Karena itu, aku selalu ternganga melihat kelincahan dan kepandaian para supir bus tersebut. Kekaguman itu membuat aku berharap, suatu saat aku ingin menjadi supir bus atau truk besar. Gagah rasanya bisa berada ditempat yang tinggi dan mampu menaklukkan kendaraan raksasa seperti itu. Menjelang usia remaja, impian menjadi supir bus terganti oleh obsesi untuk menjadi seorang akhli matematika. Ini terpicu oleh teman baikku yang pintar dan bercita-cita menjadi seorang akhli matematik.

Begitulah, peragawati, astronom, astronaut, tukang jahit, supir bus, akhli matematik, adalah rentetan cita-citaku. Dan keinginan atau cita-cita yang selalu berubah itu, terus berlangsung sampai kini. Apa yang terjadi sekarang? di usia matang ini, aku tak menjadi satupun seperti yang kuharapkan dulu. Tak pernah aku berlenggak lenggok di atas catwalk atau tak juga aku melakukan perjalanan panjang dengan bus atau truk besar. Sering ketika aku menengok kebelakang aku bertanya, apakah dengan tidak tercapainya cita-citaku itu aku kemudian menjadi orang yang tidak bahagia? rasanya tidak juga. Aku saat ini begitu menikmati dan bersyukur dengan apa yang sudah aku buat dan aku capai. Dan apakah ketika cita-cita itu tidak tercapai, apakah aku lantas menjadi orang yang gagal? mmm tidak juga. Awalnya aku memang mempunyai mimpi dan aku bergerak menuju mimpi tersebut. Dalam perjalanannya, sering sekali Tangan Gaib menuntunku ke arah yang tak kumengerti. Belum tentu apa yang kita anggap sebagai jalan untuk membuat kita bahagia, pada akhirnya membuat kita bahagia dan berhasil. Tangan Gaib itu juga yang menolong kita mencelikkan mata, dan memampukan kita mengambil jalan di persimpangan. Dan keberhasilan atau kebahagiaan itu tiba saat kita mampu tersenyum dan mengucapkan terimakasih untuk apa yang sudah kita lalui.

Apakah aku kini merasa bahagia? tentu saja. Apakah aku saat ini berhenti menaruh mimpi, harapan dan cita-cita? tentu tidak. Dalam perjalanan sisa hidup ini, aku percaya masih begitu banyak senyum dan ungkapan syukur yang bisa dinaikkan. Aku masih mau bermimpi dan menaruh cita-cita, dan aku begitu tak sabar dan bergairah untuk menjalaninya.