Catatanku...

Saturday, November 26, 2005

Pagi Putih

Pagi ini putih semua. Memang seperti ini di awal musim dingin. Walaupun sudah berkali-kali aku mengalami pagi putih, tetapi pagi putih pertama di musim dingin selalu mengejutkan. Begitu juga pagi ini, aku dibangunkan oleh lamat-lamat suara pengerok salju. Langsung dengan bersemangat aku mendekati jendela. Oh, betapa alam dilingkupi oleh limpahan putih. Halaman kecil rumah kami ditutupi hamparan karpet salju, mobil dan sepeda berselubung serpihan salju, dahan-dahan kering juga tertimpa salju, jalanan putih seperti krem pada kue tart, bersih dan halus, atap-atap rumah seperti rumah kue di cerita hansel dan gretel yang ditaburi gula halus. Cerobong-cerobong asap asyik mengepulkan asap hangat dan samar masih kulihat serpihan-serpihan salju tipis. Begitu putih, begitu menyilaukan dan begitu indah. Sebentar kubuka jendela, dan aku langsung disambut oleh keheningan yang menyengat. Seiring dengan itu, kepulan napasku menghasilkan kepulan udara hangat.

Tak kusadari, lama aku terdiam dan tertegun. Sementara alam terus berpesta, menebarkan kepingan putih yang mengkilat ketika tertimpa cahaya matahari sendu. Selamat datang musim dingin.

Thursday, November 17, 2005

Lumpia kewajiban

Memang tidak pernah ada nama lumpia kewajiban. Yang ada lumpia semarang, lumpia goreng, atau lumpia basah. Tetapi, sejak tinggal di sini hidupku tak pernah lepas dari kewajiban membuat lumpia bila ada acara khusus di tempatku bekerja. Jadilah, suka tak suka, mood tak mood, bila ada pesta atau sekedar syukuran melepas kelulusan teman, kewajibanku adalah menyiapkan lumpia. Saat ini memang aku sudah mahir membuat lumpia goreng. Tetapi bila mengingat lumpia kewajiban, aku terkenang pada saat aku harus membuat lumpia kewajiban pertamaku.

Sebelumnya, aku tak pernah tahu bagaimana membuat lumpia dan tak pernah berpikir untuk membuatnya sendiri. Setelah aku menjadi satu-satunya orang Asia di tempatku bekerja, teman-temanku dengan giat mencari tahu apa makanan khas Asia, terutama makanan khas Indonesia. Pada sebuah pesta beberapa tahun yang lalu, temanku mengusulkan untuk membuat makanan khas negara masing-masing atau daerah masing-masing. Memang anggota kelompok kerjaku begitu beragam, semua berasal dari negara-negara Eropa, kecuali aku tentunya. Panik dan bingung karena aku tak bisa masak dan tak punya daya kreativitas tinggi, akhirnya kudatangi teman baikku, seorang perempuan Indonesia yang bersuamikan londo. Akhirnya dengan bantuannya, jadilah aku membawa kue lapis dan lumpia. Lega rasanya....

Ternyata, tak dinyana tak diduga, lumpia menjadi makanan favorit. Dan meskipun aku sudah berdalih dengan sejuta alasan bahwa itu bukan buatanku, teman-temanku sudah mendaulatku sebagai sumber penghasil lumpia terenak di kota ini. Sebenarnya aku tak berkeberatan dengan hal ini, kalau saja tidak berakhir menjadi kewajiban. Setelah kejadian itu, temanku menjadi langgananku bila permintaan lumpia datang lagi. Untungnya dia selalu mau membantu dengan senang hati, karena memasak memang hobinya. Dan walaupun sudah berkali-kali aku menemaninya membuat lumpia, aku tak pernah berkeinginan untuk membuatnya sendiri.

Sampai suatu hari.
Salah satu temanku akan merayakan kelulusannya. Sejak seminggu sebelumnya dengan wajah tak berdosa dia memintaku khusus untuk membuatkan lumpia. Dan dengan enggan ku-iya-kan. Tetapi, ternyata teman baikku, si pembuat lumpia, sejak seminggu sebelumnya pulang kampung. Walhasil....selama seminggu aku begitu bingung bagaimana mempersiapkan semua ini. Menolak? aku tidak tega, karena tatapan berbinar mata teman baikku, si penggemar lumpia. Akhirnya, dengan berat hati aku berusaha membuatnya sendiri.

Dimulai dengan berburu bahan di toko Asia. Perburuan ini ternyata menyita waktu banyak, karena aku harus bolak balik membeli bahan yang terlupa atau tertinggal. Pagi itu, di dapurku kuamati bahan2 yang ada. Mmmmm....kulit lumpia, minyak goreng, tahu, rebung, wortel, bawang merah, bawang putih, garam, merica, kemiri...ups...aku bimbang, perlukah kemiri? akhirnya kuputuskan tidak. Lalu, kol, daging ayam, mmm rasanya cukup. Dengan semangat, kukupas, kucincang, kurebus, kupotong bahan2 pembuat lumpia tersebut. Dengan penuh rasa percaya diri, kuracik bumbu-bumbu pengisi lumpia sambil bernyanyi riang. So far so good. Penderitaan mulai terasa, ketika aku harus menggulung kulit lumpia yang sudah kuisi . Bahan kulit yang sangat ringkih tersebut, begitu mudah robek kalau kita tak hati-hati melipatnya. Entah sudah berapa kulit lumpia menjadi korban ketidakterampilanku dan entah sudah berapa banyak sumpah serapah menjerit di hatiku. Tetapi yang pasti, kesabaranku akhirnya mencapai titik kulminasi dan aku menyerah pada gulungan ke dua puluh. Aku langsung terduduk, kesal, marah, sedih dan kecewa. Kupandang seisi dapurku yang penuh dengan onggokan kulit lumpia dan bahan-bahan lainnya yang bertebaran. Siapa bilang menjadi koki itu mudah? siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan mudah karena hanya perlu memasak dan mengurus anak juga suami? siapa bilang membuat lumpia itu mudah? siapa bilang....?

Siang itu berakhir dengan dua puluh potong lumpia goreng yang tak jelas bentuk dan warnanya. Sempat terpikir untuk membeli saja lumpia goreng di restoran. Tetapi akhirnya kuputuskan untuk membawa semua hasil karyaku dengan harapan teman-temanku akan mengerti keterbatasanku. Ternyata, dunia tidak seramah yang diharapkan. Berbagai komentar mulai berkumandang seiring dengan gigitan pertama pada lumpiaku. Rasanya agak lain ya kali ini? sepertinya ada yang tidak pas pada lumpiamu ya? wah aku mengigit ayam yang kurang matang! dan...itu terus diikuti oleh komentar-komentar lainnya. Dengan menahan rasa malu dan sedih, di tengah pesta, kukumpulkan lumpia kewajiban yang tersisa dan kusimpan dalam tasku. Memang, pesta tetap berjalan dan teman-temanku tetap bergembira karena makanan lain yang melimpah ruah. Rasanya hanya aku yang menyimpan rasa sedih dan malu pada saat itu.

Sesampainya di rumah, ku buka sisa lumpiaku dan kumakan. Memang tak enak, tetapi tetap saja kukunyah dan kutelan sambil pikiranku melayang kepada ibuku, kepada teman baikku si pembuat lumpia dan kepada berjuta-juta ibu rumah tangga. Oh, betapa mulianya apa yang mereka lakukan, karena sepotong buah tangan yang selama ini sering kuabaikan telah membawa rasa kenyang dan rasa nikmat. betapa memasak yang selama ini kuanggap sebagai hal yang wajar dan biasa, ternyata adalah suatu pekerjaan besar yang penuh kerelaan dibalut kasih. Aku jadi malu, karena aku selama ini sering tidak berterimakasih kepada ibuku, yang selalu menyiapkan masakan yang nikmat dan lezat walaupun mungkin dia kehilangan kesempatan untuk menyenangkan dirinya sendiri. Karenanya, dengan mengunyah lumpia kewajiban yang ajaib itu, aku ingin berkata, terimakasih ibu untuk telah menjadi ibu yang rela memasak dan memberikan rasa nikmat dan kenyang kepadaku.