Wednesday, October 04, 2006

Mati Lampu

Mati lampu merupakan hal yang biasa terjadi. Tanpa peringatan, tanpa tanda-tanda, tahu-tahu....pett. Tidak peduli apakah kita sedang enak menonton tv, atau sedang menggunakan komputer, atau sedang membaca, atau yang lainnya, kejadian mati lampu tetap saja terjadi tanpa permisi. Hal ini lalu diiringi dengan teriakan kekecewaan. Tetapi biasanya hanya teriakan kekecewaan yang terjadi. Selanjutnya walaupun diiringi dengan dumelan, omelan, makian dan segala sumpah serapah, setiap orang akan berusaha menerima keadaan dan menunggu sampai perbaikan atau kebaikan hati orang PLN akan menyalakan aliran listriknya lagi.

Lain di kampung halaman, lain di negri orang. Pernah, beberapa tahun yang lalu kejadian aliran listrik padam terjadi saat aku harus melakukan pekerjaan di laboratorium. Laboratoriumku yang satu ini agak unik. Dia terletak terpencil di bawah tanah, yang walaupun dihari kerja tak pernah ada satu orangpun yang rela datang kesana. Selain karena sepi, jalan menuju kesanapun gelap, dan di laboratorium itu kita hanya akan ditemani dinding bunker yang tebal, tumpukan sampel-sampel batuan dan mesin-mesin yang berbunyi tapi tak bernyawa. Sebetulnya, akupun tak suka berlama-lama disana. Tetapi karena bagian penelitianku membutuhkan fasilitas itu, maka terpaksalah aku menjadi pengunjung tetap laboratorium sepi dan tak ramah itu, meskipun di hari sabtu atau minggu.

Satu hari di hari sabtu, sedang asyik bekerja ditemani radio kecil, tiba-tiba aliran listrik mati tiba-tiba. Reaksi pertamaku hanya kaget. Tapi selebihnya aku seperti tercekik ditengah kegelapan dan panik mulai melanda. Berjalan tertatih-tatih, sambil berusaha mencari pegangan dan berusaha tidak merusak preparasi sampel dan alat-alat yang mudah pecah, aku berusaha mencari orientasi dan memikirkan hal yang harus kulakukan. Kali ini, makian, kemarahan tidak akan banyak menolong dan membuat hatiku puas. Aku tetap panik dan takut. Ditengah rasa panik, selain makian, doa dan juga usaha menghibur diri kulakukan, karena usaha mencari pintu keluar dalam keadaan gelap gulita, melewati ruang laboratorium yang gelap yang dilanjutkan oleh lorong panjang yang juga gelap, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Berteriak minta tolong pun akan sia-sia, selain karena dinding yang tebal, tak ada orang yang sudi datang kesana, hari itupun hari sabtu, dimana tidak banyak orang suka rela datang bekerja di uni bila tidak terpaksa. Sambungan teleponpun ikut mati seiiring dengan putusnya aliran listrik. Dan yang lebih menyebalkan, aku lupa membawa telepon genggamku karena kupikir tak akan berfungsi banyak diruang bawah tanah.

Perlahan-lahan akhirnya kutemukan jalan keluar. Rasa lega baru tercapai setelah aku melihat cahaya matahari di luar lorong bawah tanah. Bergegas, aku mencari lampu senter di ruang kerjaku dan kembali ke ruang gelap itu, untuk membereskan sampel-sampelku. Tak ada lagi niatan untuk meneruskan pekerjaan yang tertunda. Pekerjaanku tidak tuntas hari itu dan aku lalu melanjutkan kegiatan menikmati suasana sabtu dengan tenang. Hari minggu, aku sudah melupakan kejadian itu dan hidup seperti biasa lagi.

Ketika hari senin aku kembali ke kampus, kehebohan mulai terdengar. Ternyata banyak pihak yang mulai ribut dan melayangkan surat protes kepada perusahaan listrik. Saat pertemuan mingguan digelar, kita diminta menandatangi surat protes dan surat ganti rugi kepada perusahaan listrik itu atas kelalaian mereka melakukan tugas. Ditambah lagi, kejadian padamnya aliran listrik itu juga dimuat di koran lokal, tv dan radio-radio, bahkan dijadikan bahan diskusi oleh ahli-ahli yang dianggap kompeten. Intinya, aliran listrik padam hari sabtu itu menjadi skandal besar.

Iseng-iseng kutanya kepada beberapa temanku yang ikut menandatangi surat protes itu, dimana mereka berada saat kejadian berlangsung. Hampir semua sedang berada di rumah atau sedang bepergian dan tidak tertimpa dampak langsung dari padamnya aliran listrik yang hanya menimpa daerah universitas dan beberapa daerah pemukiman disekitarnya.

Mmm, kalau mereka yang tidak tertimpa bisa bereaksi seperti itu, seharusnya aku bisa bereaksi lebih heboh lagi, karena aku adalah salah satu korban langsung. Tetapi karena sudah terbiasa dengan padamnya aliran listrik yang tiba-tiba tanpa pertanda, aku jadi seperti terbiasa juga menerima kerugian itu dan tidak terpikirkan untuk protes atau melakukan tindakan menuntut ganti rugi. Malahan aku merasa kejadian itu biasa-biasa saja dan memaklumi keterbatasan kerja manusia.

Dengan kejadian ini, aku jadi bertanya-tanya, seperti apakah seharusnya aku bereaksi bila hal ini terjadi lagi? menganggapnya sebagai hal yang biasa dan hidup dengan keadaan itu, atau harus ikut protes juga?

5 Comments:

Anonymous Anonymous said...

aku jugah ga suka lampu mati, soalnya mnurutku ruangan jd tiba2 menyempit

3:56 AM  
Anonymous Anonymous said...

kenapa ya Mi, tempat2 sampel plus lab batuan kok selalu ditaruh di ruang bawah tanah? ingat kan lab sedimen dulu?

6:49 AM  
Blogger miraykemuning said...

Git,
emang gak enak banget deh jalan bergelap-gelap dan gak berdaya.

Mbak,
emang bener mbak, tumpukan batu enggak menarik diliat, jadinya disembunyiin. Dan anehnya, saya gak kapok juga berkutat di lab sedimen ya?

2:50 PM  
Anonymous Anonymous said...

Top! Itu salah satu bukti keunggulan orang Indonesia,nggak cepet ngeluh. Lha wong di kita sih nrimo aja tuh lampu sering byar-pet, nggak pernah menuntut ke PLN gara2 alat2 elektronik di rumah rusak krn sering mati lampu.

12:46 PM  
Blogger miraykemuning said...

Wie, kayaknya ngeluhpun gak merubah suasana, jadi kebal ya orang Indo biar dirugikan..

11:38 AM  

Post a Comment

<< Home