Catatanku...

Sunday, April 09, 2006

Sepatu

Dua hari yang lalu saat jalan-jalan dengan suami, kami melewati toko sepatu. Mataku sempat tertumbuk pada sepasang sepatu berwarna coklat yang manis. Modelnya sederhana, kulitnya halus dan solnya tidak tebal. Cocok dengan seleraku. Saat asyik menikmati sepatu cantik sambil membayangkan bagaimana kerennya diriku saat memakai sepatu itu, suamiku langsung berkomentar, "mmm seleramu begitu-begitu aja, mbok cari model lain!" Hhhh buyar semua khayalanku dan berganti dengan pembicaraan tentang sepatu. Terutama tentang sepatu suamiku yang terbelah di bagian telapak kakinya dan dia merasa perlu sepatu yang baru. Kalau sudah sampai pada saat "beli sepatu baru", aku begitu iri pada suamiku. Bagaimana tidak, semahal apapun merek sepatu yang dia beli, daya tahannya paling lama hanya enam bulan. Setelah lewat waktu itu, ada-ada saja yang terjadi, entah terbelah, entah solnya menganga, entah kerusakan lainnya sehingga dia selalu mempunya alasan tepat untuk menggantinya dengan yang baru. Sering kukomentari tentang bagaimana galaknya kaki suamiku itu, sehingga kulit-kulit yang seharunya menjanjikan kenyamanan dan daya tahan tak sanggup menampung aktifitas kakinya yang ajaib itu. Dan diam-diam aku ingin memiliki "keberuntungan" itu, yang nyata-nyata tidak berlaku pada diriku. Sekeras apapun usahaku untuk membuat sepatuku menjadi rusak, hampir tak pernah sepatuku berakhir dengan tragis. Sepatuku selalu awet dan baru rusak setelah bertahun-tahun dipakai. Itupun tidak pernah parah, paling-paling hanya warna yang memudar atau lecet sedikit kulitnya, atau solnya yang menipis. Sebenarnya itu bagus juga, selain bagus untuk kesehatan kantong, pada dasarnya aku juga tidak begitu suka berganti-ganti sepatu atau mencoba model-model lain. Seperti komentar suamiku, aku selalu senang sepatu yang modelnya itu-itu saja. Kurang kreatif memang. Tetapi bila melihat bagaimana suamiku bisa berganti sepatu dalam waktu relatif singkat, ditambah dengan kesenangan saat mencoba-coba sepatu yang baru, atau kegirangan saat memakainya di kesempatan pertama, aku jadi ingin juga mengalami kegairahan itu. Terlebih bila kuingat betapa manisnya sepatu coklat yang cemerlang di rak toko sepatu itu, aku semakin ingin memiliki kemewahan dengan berganti sepatu.

Sayangnya kemewahan itu tak jadi hal yang menarik saat kulihat jejeran sepatuku di rumah. Mataku tertumbuk pada jejeran empat pasang sepatu yang masih terlihat bagus. Kubalik-balik dan kuamati, tak ada yang koyak, tak ada yang terbelah, tak ada yang rusak, solnya masih utuh, bahkan warnanyapun masih bagus. Mmmm, jadi sebenarnya aku tak punya alasan lain untuk membeli yang baru, selain keinginan untuk memuaskan mataku saja. Ditengah kebimbanganku itu, dengan suara penuh belas kasihan, suamiku mendorongku untuk membeli yang baru. Tetapi aku selalu diliputi rasa bersalah bila membeli barang hanya untuk memuaskan keinginan tanpa fungsi yang jelas, lagi akan dikemanakan keempat sepatuku yang masih bagus itu, begitu dalihku. Ya simpan saja, jadi kamu bisa memakainya bergantian, dan sekali-sekali kamu keluar dari pemikiran itu kan tak ada salahnya, sela suamiku. Jadilah aku terombang-ambing dalam kebimbangan, apakah perlu aku beli sepatu manis yang kulihat dua hari yang lalu, atau tidak. Saat masih bingung, kudengarlagi suara suamiku bertanya,"Oh ya, apa kamu masih mau beli buku yang kemarin kita lihat itu?"...... Saat itu, buyar sudah khayalanku untuk membeli sepatu dan isi kepalaku segera terganti dengan judul-judul buku yang memang ingin kubeli. Mmmm, untuk sepasang sepatu baru, aku bisa mendapat empat atau lima buku baru, pikirku cepat. Sambil meletakkan sepatuku di rak, kuambil sebuah keputusan. Selamat tinggal sepatu baru, rasanya empat sepatu di rak sudah lebih dari cukup bagiku. Terakhir masih kulihat cengiran lebar suamiku.