Catatanku...

Tuesday, October 17, 2006

Kembali

Setelah empat bulan terkapar dalam ketidakberdayaan dan kemanjaan, hari ini aku kembali melangkahkan kaki ke tempat dimana aku biasa bekerja. Belum, aku belum mendapatkan pekerjaan. Tetapi statusku sebagai scientist tamu membuat beberapa teman baikku, baik langsung ataupun tidak langsung, setia merayuku untuk kembali.

"Kamu butuh keluar non, jangan ngerem aja, nggak nolong!"

"Kami rindu liat kamu, semoga semuanya baik"

"Ketiadaanmu membuat kami khawatir, semoga semuanya berjalan lancar."

Begitulah inti dari beberapa pesan yang aku terima selama masa "masuk gua". Sebenarnya sudah lama ingin kembali ke tempat kerja, tetapi sampai kemarin, rasanya belum punya kekuatan untuk melakukannya. Keinginan selalu ada, kerinduan apalagi, tetapi selalu saja ada alasan yang membuatku tetap di rumah.

Dua minggu terakhir ini aku semakin sehat dan menikmati pengalaman baru yang indah dan tak terlupakan ini, karenanya aku tak mengikuti perasaanku lagi ketika aku keluar dari pintu rumah hari ini.

Teman baikku di tempat kerja memelukku erat saat kami bertemu. Tanpa terasa satu jam kemudian ruangan mungil kami menjadi penuh dengan suara, tawa dan canda kembali. Ada yang hilang, komputerku rusak, mati. Setelah ditinggal hampir empat bulan, ternyata komputerku pun ikut ngadat. Ditambah dengan rusaknya laptopku, aku tak bisa mengerjakan apa-apa. Akhirnya siang ini aku mengelilingi kampus, menggali memory yang pernah ada dan menikmati siang musim gugur yang hangat.

Di depan layar di pusat layanan komputer, aku kembali bergairah menyusun rencana-rencana ke depan. Bergairah untuk kembali berkarya. Lega rasanya bisa kembali, walaupun tak ada janji dan kepastian akan kesempatan kerja yang baru. Tak apa, yang membuatku senang adalah, aku seperti menemukan diriku kembali dan si kecilpun sepertinya senang, karena dia begitu tenang selama aku bernostalgia dan meluapkan semangat baru ini.

Wednesday, October 11, 2006

Satu Tahun

Satu tahun yang lalu, ada satu kehidupan terhenti. Menyisakan kesedihan yang mendalam dan rasa rindu yang tak putus. Bahkan sampai hari ini. Seandainya saja dia ada, banyak yang bisa kita alami bersama. Pikiran tentang betapa bahagianya dia kini bersama Sang Khalik, menolongku untuk tetap bisa menjalani hidup dengan nikmat.

Sudah satu tahun menanti, ada juga satu kehidupan baru di dalam tubuhku. Keajaiban tertiupnya nafas baru menyadarkanku bahwa siklus kehidupan belum berhenti. Lingkaran kebahagiaan tetap tak terputus dan aku bisa tersenyum menikmati kehadirannya.

Tak pernah lelah Dia berkarya, tak pernah lelah Dia ajari hidup, dan tak pernah lelah dia beri aku sukacita. Aku bersyukur. Bersyukur untuk pernah mengalami masa indah dengan orang tercinta dan bersyukur untuk mengalami masa indah sekarang dan ke depan dengan manusia baru.

*kenangan atas perginya ibu tercinta setahun yang lalu

Wednesday, October 04, 2006

Mati Lampu

Mati lampu merupakan hal yang biasa terjadi. Tanpa peringatan, tanpa tanda-tanda, tahu-tahu....pett. Tidak peduli apakah kita sedang enak menonton tv, atau sedang menggunakan komputer, atau sedang membaca, atau yang lainnya, kejadian mati lampu tetap saja terjadi tanpa permisi. Hal ini lalu diiringi dengan teriakan kekecewaan. Tetapi biasanya hanya teriakan kekecewaan yang terjadi. Selanjutnya walaupun diiringi dengan dumelan, omelan, makian dan segala sumpah serapah, setiap orang akan berusaha menerima keadaan dan menunggu sampai perbaikan atau kebaikan hati orang PLN akan menyalakan aliran listriknya lagi.

Lain di kampung halaman, lain di negri orang. Pernah, beberapa tahun yang lalu kejadian aliran listrik padam terjadi saat aku harus melakukan pekerjaan di laboratorium. Laboratoriumku yang satu ini agak unik. Dia terletak terpencil di bawah tanah, yang walaupun dihari kerja tak pernah ada satu orangpun yang rela datang kesana. Selain karena sepi, jalan menuju kesanapun gelap, dan di laboratorium itu kita hanya akan ditemani dinding bunker yang tebal, tumpukan sampel-sampel batuan dan mesin-mesin yang berbunyi tapi tak bernyawa. Sebetulnya, akupun tak suka berlama-lama disana. Tetapi karena bagian penelitianku membutuhkan fasilitas itu, maka terpaksalah aku menjadi pengunjung tetap laboratorium sepi dan tak ramah itu, meskipun di hari sabtu atau minggu.

Satu hari di hari sabtu, sedang asyik bekerja ditemani radio kecil, tiba-tiba aliran listrik mati tiba-tiba. Reaksi pertamaku hanya kaget. Tapi selebihnya aku seperti tercekik ditengah kegelapan dan panik mulai melanda. Berjalan tertatih-tatih, sambil berusaha mencari pegangan dan berusaha tidak merusak preparasi sampel dan alat-alat yang mudah pecah, aku berusaha mencari orientasi dan memikirkan hal yang harus kulakukan. Kali ini, makian, kemarahan tidak akan banyak menolong dan membuat hatiku puas. Aku tetap panik dan takut. Ditengah rasa panik, selain makian, doa dan juga usaha menghibur diri kulakukan, karena usaha mencari pintu keluar dalam keadaan gelap gulita, melewati ruang laboratorium yang gelap yang dilanjutkan oleh lorong panjang yang juga gelap, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Berteriak minta tolong pun akan sia-sia, selain karena dinding yang tebal, tak ada orang yang sudi datang kesana, hari itupun hari sabtu, dimana tidak banyak orang suka rela datang bekerja di uni bila tidak terpaksa. Sambungan teleponpun ikut mati seiiring dengan putusnya aliran listrik. Dan yang lebih menyebalkan, aku lupa membawa telepon genggamku karena kupikir tak akan berfungsi banyak diruang bawah tanah.

Perlahan-lahan akhirnya kutemukan jalan keluar. Rasa lega baru tercapai setelah aku melihat cahaya matahari di luar lorong bawah tanah. Bergegas, aku mencari lampu senter di ruang kerjaku dan kembali ke ruang gelap itu, untuk membereskan sampel-sampelku. Tak ada lagi niatan untuk meneruskan pekerjaan yang tertunda. Pekerjaanku tidak tuntas hari itu dan aku lalu melanjutkan kegiatan menikmati suasana sabtu dengan tenang. Hari minggu, aku sudah melupakan kejadian itu dan hidup seperti biasa lagi.

Ketika hari senin aku kembali ke kampus, kehebohan mulai terdengar. Ternyata banyak pihak yang mulai ribut dan melayangkan surat protes kepada perusahaan listrik. Saat pertemuan mingguan digelar, kita diminta menandatangi surat protes dan surat ganti rugi kepada perusahaan listrik itu atas kelalaian mereka melakukan tugas. Ditambah lagi, kejadian padamnya aliran listrik itu juga dimuat di koran lokal, tv dan radio-radio, bahkan dijadikan bahan diskusi oleh ahli-ahli yang dianggap kompeten. Intinya, aliran listrik padam hari sabtu itu menjadi skandal besar.

Iseng-iseng kutanya kepada beberapa temanku yang ikut menandatangi surat protes itu, dimana mereka berada saat kejadian berlangsung. Hampir semua sedang berada di rumah atau sedang bepergian dan tidak tertimpa dampak langsung dari padamnya aliran listrik yang hanya menimpa daerah universitas dan beberapa daerah pemukiman disekitarnya.

Mmm, kalau mereka yang tidak tertimpa bisa bereaksi seperti itu, seharusnya aku bisa bereaksi lebih heboh lagi, karena aku adalah salah satu korban langsung. Tetapi karena sudah terbiasa dengan padamnya aliran listrik yang tiba-tiba tanpa pertanda, aku jadi seperti terbiasa juga menerima kerugian itu dan tidak terpikirkan untuk protes atau melakukan tindakan menuntut ganti rugi. Malahan aku merasa kejadian itu biasa-biasa saja dan memaklumi keterbatasan kerja manusia.

Dengan kejadian ini, aku jadi bertanya-tanya, seperti apakah seharusnya aku bereaksi bila hal ini terjadi lagi? menganggapnya sebagai hal yang biasa dan hidup dengan keadaan itu, atau harus ikut protes juga?