Catatanku...

Tuesday, June 27, 2006

Menerima diri sendiri

Diawal pekan kerja ini aku dan beberapa sahabatku sepakat untuk melewati saat sarapan bersama. Bukan tanpa tujuan kami bertemu. Selain menikmati suguhan sarapan murah, meriah dan mengenyangkan, kami pun ingin mengenal satu dengan yang lain lebih dalam lagi, terlebih kami ingin belajar mengenal diri kami sendiri.

Sahabatku beberapa waktu yang lalu sempat membagikan salah satu bagian dari buku tentang wanita yang ternyata sulit menerima dirinya sendiri. Setelah dibaca dan disadari, ternyata hal itu memang itu menjadi masalah bagi kebanyakan wanita. Tuntutan sosial yang menuntut kesempurnaan fisik seorang wanita, membuat wanita merasa tidak aman untuk menjadi dirinya sendiri. Rasa tidak aman ini mendorong wanita untuk mengusahakan agar dirinya layak dianggap ada dan diterima oleh lingkungannya. Usaha memperbaiki kecantikan, program pembentukan tubuh yang ideal dan beragam produk yang menawarkan ke-ideal-an seorang wanita, membuat kebanyakan wanita lupa akan esensinya menjadi wanita, menjadi seorang manusia.

Terdorong dari situ, kami sepakat bertemu dan mencoba untuk mengenali diri kami sendiri. Melalui excercise ringan dan diskusi yang hangat kami boleh belajar untuk mencoba melihat ke dalam. Seru dan menyenangkan. Lepas dari isi diskusinya, ada satu hal yang kurasakan begitu menonjol dari pembicaraan kami. Setelah kami menuliskan sisi baik dan buruk kami pada secarik kertas, ternyata kami semua memiliki kesamaan, yaitu lebih mudah menuliskan kelemahan atau kekurangan kami ketimbang kami menuliskan kelebihan atau bakat-kami yang menonjol. Sepertinya begitu sulit untuk mengungkapkan kelebihan dan bakat kami, tetapi kami bisa dengan ringan bisa menulis betapa kami tidak sabar, malas, keras kepala, cerewet dan sejuta kekurangan lainnya. Hal ini membuatku sempat termangu setelah pertemuan ini usai. Mengapa seperti itu? mengapa kami seperti enggan untuk membagikan apa yang menjadi kekuatan kami kepada orang lain?

Ketika aku bercermin pada diriku sendiri, aku teringat bahwa kebudayaan kita selalu menekankan pada betapa pentingnya rendah hati. Kalau kuingat, betapa banyak peribasa yang dibuat untuk selalu rendah hati. Tong kosong nyaring bunyinya, atau pakailah ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, air beriak tanda tak dalam, dan yang lainnya. Ditambah lagi dengan panjangnya pelajaran pendidikan moral pancasila yang menekankan untuk selalu rendah hati, ramah, gotong royong dan hal-hal pancasilais lainnya. Salahkah semua itu? tentu saja tidak. Tetapi disadari atau tidak disadari, hal itu mendorong kita untuk berhati-hati dalam bersikap. Salah-salah kita bisa dianggap orang yang sombong, dan itu mendorong kita mendapat point negatif dari lingkungan kita. Karenanya tak heran bila aku sering termalu-malu dan berusaha menutupi kelebihanku dengan sejuta kata-kata rendah hati. Bahkan tak jarang hal ini membuatku menjadi lebih berkonsentrasi pada kekuranganku dan berujung pada kesadaran bahwa aku tak cukup baik untuk melakukan sesuatu hal.

Bila dibandingkan dengan teman-temanku di Eropa sini, sepertinya hal itu berbanding terbalik. Tanpa ragu, mereka mampu menyebutkan kelebihan atau kemampuan mereka secara terbuka dan sekaligus kekurangan mereka. Dan mereka yang mendengarkanpun tak langsung memberikan reaksi negatif ketika mendengarkan seseorang menyebutkan kemampuannya. Semuanya disambut biasa-biasa saja. Rasanya tak ada cibiran yang dilanjutkan dengan bisik-bisik, tong kosong nyaring bunyinya. Memang adakalanya, mereka tidak seperti yang mereka katakan, tetapi mengenali kemampuan diri sendiripun menolong mereka untuk belajar percaya pada diri sendiri. Kalau kubayangkan, aku pasti akan tersipu malu dan mengatakan "ah, ini biasa-biasa saja kok, saya masih belajar" ketika seseorang memuji hasil pekerjaanku walaupun kenyataannya aku memang mampu dibidang itu. Rasanya tidak pantas kalau aku mengatakan hal yang sebaliknya.

Memang kurang baik untuk memiliki rasa percaya diri yang berlebihan. Tetapi menutupi dan menyelubunginya pun membuat kita sering mempunyai gambaran diri yang salah. Tak semua kemampuan diri yang tak diucapkan menunjukkan bahwa seseorang itu rendah hati. Karena sering pula hal itu mendorong kita mencibir dan merendahkan karya seseorang karena diam-diam kita merasa diri kita lebih mampu atau lebih baik.

Sekarang ini, rasanya aku perlu lebih banyak belajar untuk bisa mengenali kelebihan dan kekuranganku dengan lebih objektif. Karena aku percaya bahwa seseorang diciptakan lengkap dengan talenta dan keterbatasannya. Ketidakseimbangan mengenali keduanya, sepetinya membuat kita tidak bersyukur pada pemberi hidup. Mungkin aku perlu berlatih untuk dapat menyampaikannya dengan kemas yang lebih baik. Mmm, tugas yang berat.

Monday, June 19, 2006

Pengangguran

Tidak terasa sudah hampir setengah tahun aku jadi pengangguran. Sejak enam bulan yang lalu seiring dengan habisnya kontrak kerja dan purnanya studiku, aku tidak bekerja secara profesional lagi. Semula, aku pikir aku pasti tak akan mampu melewati waktu tanpa mengerjakan hal-hal yang selama ini biasa kukerjakan, seperti pergi ke tempat bekerja, menganalisa sample, menganalisa hasil penelitian, membuat report dan mengejar deadline. Semua itu memang sangat aku nikmati, walaupun saat mengerjakannya aku sering menemui kesulitan yang sempat juga membuatku ingin mundur. Hilangnya ritme kehidupan yang terbiasa kujalani sempat membuatku merasa skeptis dan menganggap bahwa pasti aku menjadi tidak produktif dan tidak berguna. Sempat pula aku berpikir, pasti waktu-waktuku akan menjadi panjang dan membosankan.

Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Tuhan terlalu baik untuk membuat hidupku kosong tanpa ada yang dikerjakan. Kalau saat ini secara profesional aku tak mengerjakan apapun, kehidupanku tak lantas menjadi berhenti dan berakhir. Bila diingat apa saja yang kulakukan selama enam bulan terakhir ini, ternyata aku seperti tidak pernah punya banyak waktu untuk benar-benar diam dan tidak melakukan apapun. Sejak bangun pagi sampai saat tertidur waktuku dipenuhi oleh banyak hal. Selain tetap mencari peluang kerja yang baru, aku disibukkan oleh hal lain, seperti menjadi ibu rumah tangga dan juga menjadi bagian dalam dalam lingkaran persahabatan dan persaudaraan. Waktuku banyak sekali terpakai untuk menjalin kembali hubungan yang lama beku karena kesibukanku. Saat tak ada target pekerjaan, aku diberi banyak kesempatan untuk membuka hidupku pada satu bentuk kehidupan yang tak pernah kuduga atau kuharapkan. Aku menikmati menjadi istri, saudara, teman dan sahabat bagi orang-orang disekitarku. Bila dulu, hal ini kuanggap hal yang membuang waktu, sekarang tidak lagi. Ternyata, aku masih bisa terus belajar, terus sibuk dan terus mengembangkan diri dengan apa yang kuhadapi saat ini.

Terimakasih Sang Waktu, karena Engkau memberikan kesempatan padaku untuk membuka sisi lain dihatiku yang selama ini tertutup karena dalih aku tak sempat. Terimakasih juga, karena disaat seperti ini aku juga boleh terus belajar menyimpan pengharapan. Terimakasih, untuk kesenangan dan kebagiaan yang tetap Engkau berikan. Ternyata aku tak pernah benar-benar menjadi pengangguran.