Catatanku...

Thursday, June 23, 2005

Malu

Sering hal-hal kecil yang memalukan terjadi dalam hidupku. Mungkin sebenarnya untuk kebanyakan orang hal itu bukanlah suatu masalah besar, apalagi harus merasa malu ketika menghadapinya. Tetapi entah mengapa, rasa malu yang timbul dalam diriku lebih karena malu pada diri sendiri. Aku tak cukup peka untuk memikirkan perasaan orang lain terhadapku, tetapi sering kali aku berada ditengah keadaan dimana aku merasa amat sangat malu.

Seperti kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu. Seperti biasa aku sedang duduk di ruang kerja bersama rekan kerjaku. Memang sudah sekitar tiga tahun kami berbagi ruang yang sama dan juga berbagi proyek yang sama dengan pendekatan yang berbeda. Kami sama-sama orang asing di negri ini, tetapi keasingannya tak begitu tampak karena dia datang dari negara tetangga yang juga berbahasa sama dengan bahasa yang dipakai di negri ini. Sedikit banyak kami berbeda. Dia, seorang perempuan juga, lebih senang berekspresi baik dalam penampilan maupun dalam pergaulan, sementara aku memilih mengambil langkah aman dengan sikap dan penampilanku yang cenderung konservatif. Kepribadiannya yang menyenangkan dan terbuka membuatnya bisa diterima di kalangan manapun. Sepertinya bergaul dan berteman bukan hal yang sulit buatnya, tetapi tidak buatku. Aku sangat pendiam dan tak menyukai keramaian. Tetapi walaupun kami berbeda, kami sangat menikmati perkawanan dan kebersamaan kami. Kami seperti terlibat dalam simbiosa mutualisma, dia dengan kesenangannya bercerita dan aku dengan kebiasaanku menjadi pendengar. Karena sifatnya yang ramai dan menyenangkan, tak heran pula temannya datang dari berbagai kalangan. Tak jarang ruangan kami menjadi penuh oleh mereka yang datang untuk berbincang, bercanda atau mengadu. Aku tak pernah berkeberatan selama ini, tetapi kegiatannya yang melebihi batas akhir-akhir ini membuatku menjadi terganggu. Bagaimana tidak, kami sama-sama berada disaat akhir dimana kami harus menyelesaikan proyek kami, tidak bukan kami tetapi aku.

Aku memang ingin segera terbebas dari tekanan-tekanan ini, sementara untuknya penundaan bukan masalah besar. Karenanya sudah kukatakan kepadanya, kalau aku perlu saat untuk bisa bekerja dengan tenang, tanpa gangguan orang yang datang dan pergi hanya untuk membuang waktu saja. Awalnya dia setuju, tetapi dampaknya sungguh luar biasa. Setiap ada yang datang, secara demonstratif dia akan memperkenalkan orang itu padaku, yang selalu membuatku memalingkan wajah dan beranjak dari kursi, dan kemudian dia akan berkata kepada temannya kalau sebaiknya mereka bicara diluar saja karena mereka tak bisa bicara di ruangan kami karena aku tak bisa diganggu oleh keributan. Teman-temannya, dan aku sendiri, sering tercengang, tetapi kemudian mereka akan tersenyum maklum dengan tatapan mata iba pada temanku dan kemudian berlalu tanpa memberikan kesempatan untuk aku melakukan atau mengatakan sesuatu.

Berada dalam keadaan seperti ini, rasa malu sering menyergapku. Bukan rasa marah atau kecewa, tetapi rasa malu. Malu karena sepertinya aku begitu mementingkan diriku sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Malu karena kemauanku harus diprioritaskan sementara dia harus mengalah dan melanjutkan kegiatannya di tempat lain. Karena rasa malu itu, kukatakan pada temanku kalau dia sebaiknya berlaku seperti biasa saja. Kalau dia bisa mengungsi untuk kepentinganku, aku pun bisa berbuat serupa.

Tetapi kemudian hal ini diketahui oleh temanku yang lain. Dia begitu heran dengan keputusanku, dalihnya ruang kerja adalah untuk bekerja dan bukan untuk berbicara tak menentu. Kemudian dia memberi masukan padaku untuk berani menyatakan hal-hal yang mengganjal dengan terbuka dan tak perlu menjadi pahlawan kesiangan dengan keputusanku. Ditambahnya lagi, aku punya hak yang sama dengan teman seruanganku untuk menggunakan ruang kerja sebagai tempat bekerja. Selepas pembicaraanku dengan teman baikku ini, aku kembali merasa malu. Malu karena aku tak bisa mengambil sikap yang tepat disaat yang tepat. Aku malu karena aku selalu terjebak pada keadaan dimana aku tak mampu atau tak berani mengatakan tidak atau mengatakan apa yang aku rasakan dan pikirkan. Malu karena aku lebih memilih untuk tidak dijauhi dengan membiarkan kepentinganku tersisihkan. Aku malu sekali.

Dan di tengah rasa malu ini, aku menjadi bingung. Apa yang sebaiknya kukatakan dan kulakukan, bukan untuk menyenangkan teman seruanganku atau menyenangkan diriku. Aku bingung, bagaimana aku bisa terlepas dari rasa malu yang aneh ini dan mulai bisa bersikap rasional dan menjadi diriku sendiri. Tak mudah memang, minimal untukku.

Monday, June 06, 2005

Menghitung Berkat

"Hitunglah berkatmu hari ini, dan kau akan tercengang melihat jumlahnya"

Sebaris kalimat bijak di atas memang sudah menjadi teman penolongku sejak lama. Aku ingat saat aku merasa marah dan kecewa berpuluh tahun yang lalu. Ketika itu aku masih seorang gadis kecil, yang mengalami hari yang buruk. Hasil ujian yang buruk, bermusuhan dengan teman, kehilangan jepit rambut, dan rusaknya boneka kesayangan karena gigitan anjing. Hari itu aku merasa begitu marah, tak berdaya dan sedih. Seperti biasa, ibuku datang dan menghibur, lalu dia menuliskan sebaris kalimat diatas dalam catatan harian kecilku. Intinya, ibuku ingin mengingatkanku kalau tak pernah ada satu hari buruk tanpa satu sukacita yang kualami. Pasti ada yang baik yang Dia berikan saat aku merasa semua berjalan tak seperti yang kumau. Bahkan hal yang kuanggap kekecewaanpun, adalah berkat yang patut kuhitung. Karena kekecewaan itu bisa menjadi bahan pemacu, bahan evaluasi dan bahan penguat untuk aku kembali bersemangat memasuki hari yang lain.

Aku ingat, saat ibuku mengajakku duduk bersama dan menghitung berkat disaat aku justru merasa tak mampu menghitungnya. Sering di atas secarik kertas putih, kami menuliskan deretan berkat yang kami terima hari itu. Setelah beberapa saat kertas putih itu akan penuh dengan tulisan bertinta yang juga sering kabur karena tetesan air mata. Dan tak jarang kami memerlukan kertas lain lagi untuk menuliskan setiap berkat yang kami terima hari itu. Sambil menulis, ibuku tak jarang menyelipkan kata-kata penghiburan yang mendorongku untuk tetap kuat, tabah dan sabar dalam menghadapi saat yang menyesakkan. Dan setelah kami merasa lelah dengan kegiatan hitung menghitung yang selalu membuatku tercengang akan begitu banyaknya jumlah berkat yang mampu kuhitung, ibuku juga mengingatkan bahwa masih banyak jumlah berkat yang belum sempat tertulis padahal lenganku sudah lelah. Dari hal itu aku boleh belajar, bahwa suatu hal akan membawa kesedihan atau kesukaan tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya. Ujungnya, beliau akan mengajakku melihat kenyataan bahwa ada dua pilihan untukku. Pilihan pertama aku boleh terus duduk diam dan menyesali serta memikirkan semua kesedihanku, atau aku mau bangkit dan bersyukur serta memulai lagi.

Saat ini, setelah puluhan tahun berlalu, ibuku tak ada disampingku ketika aku ada dipersimpangan jalan lagi. Tak ada suara lembut dan tatapan hangat ketika airmata mulai membuat pandangan mataku menjadi kabur. Tapi, kuraih juga selembar kertas putih. Kali ini kumulai dengan menuliskan perasaan negatifku. Aku merasa diperlakukan tidak adil oleh alam ini. Tahun lalu aku menderita sakit hebat yang membuatku harus menjalani pengobatan panjang selama setahun. Hal ini membuatku tak mampu menyelesaikan tugas-tugasku tepat pada waktunya. Setelah deadline terlewati tanpa aku sanggup memenuhinya membuatku kehilangan sumber penghasilanku dan membuatku sedikit panik akan kehidupanku di negri asing ini. Kutambahkan lagi pukulan terakhir dalam hidupku dengan gagalnya proposalku. Tanganku bergetar ketika kutuliskan hal ini. Selama ini aku sering berpikir, aku sudah menghadapi begitu banyak kesusahan setahun terakhir, karenanya aku layak untuk mendapatkan sedikit kegembiraan dengan keberhasilan proposalku. Ternyata tidak seperti itu. Aku tetap tidak berhasil dengan proposal penelitianku. Dan aku sedih. Aku merasa tak sanggup mengitung berkatku hari itu.

Kutinggalkan kertas berisi daftar kesedihan dan kekecewaanku, dan aku mulai menghubungi sahabat-sahabat baikku dan membagikan apa yang kurasakan. Kukatakan aku merasa sedih, malu, kecewa dan marah. Sahabat-sahabatku dengan serta merta memberikan dorongan semangat dan penghiburan. Melalui candaan, melalui teguran, melalui dorongan, mereka sedikit banyak telah menghangatkan hatiku. Aku tak merasa sendiri lagi.

Kuangkat juga gagang telepon dan ketika kudengar suara lembut yang begitu kurindukan, tumpahlah kembali semua cerita kesedihan itu. Dan di ujung sana, suara yang sama mengajakku untuk kembali memilih. Memilih untuk berlama-lama dengan semua pikiran negatif, atau memilih untuk menghitung berkat dan bangkit kembali.

Aku duduk sendiri saat ini. Hatiku masih sedih dan mataku masih sedikit bengkak. Tetapi rasanya tak apa menjadi sedih sesekali. Disisi lain aku tahu bahwa aku diperhadapkan pada pilihan lagi. Aku harus membuat deadline terhadap cara pandang dan posisiku dalam menyikapi kegagalan ini. Di depanku ada secarik kertas putih dan aku aku teringat akan keberadaan orang tua, saudara, sahabat, teman dan mereka yang dekat sudah menolongku untuk memilih. Kali ini aku memilih untuk tak mau tenggelam dalam perasaan yang tak menentu. Aku memilih untuk memandang kedepan dan menghitung berkat yang kuterima. Aku memilih untuk menerima kesakitan ini sebagai bagian dari proses perjalanan hidup yang akan semakin membuatku kuat. Memang aku tak tahu apa yang ada di depan, dan aku tak perlu tahu. Ketidaktahuan akan membuatku terus bergerak, berusaha dan berharap. Terimakasih Sang Maha, karena Kau lengkapi hidupku dengan berkat yang tak ternilai. Rasanya aku perlu bertumpuk lembaran kertas putih untuk menghitung berkatku hari ini.